The Deep; Atma Yang Hirap - Belajar Mengikhlaskan Ft. Bogor.

Mengetukkan kaki ke tanah atau paving batu, bersenandung kecil, sebuah buku tergenggam di tangan kanan, mata yang dengan jelas melihat dunia sekitar, hangatnya cahaya matahari yang menyentuh kulit, suara-suara, jalan setapak dan hingga udara yang berubah menjadi sejuk. Semua itulah, dari sekian banyak yang lainnya yang paling aku sukai saat berjalan kaki, di kota Bogor.

Kota Bogor atau terkenal dengan sebutan Kota Hujan, karena memiliki curah hujan yang sangat tinggi. Merupakan kota yang terletak 59 Km² di sebelah selatan Jakarta yang juga terletak di Provinsi Jawa Barat.

Lemon 8 Cafe, adalah salah satu tempat favorit-ku di Bogor, tempat yang mampu membuatku merasa nyaman sesaat memasukinya, tempat yang begitu tertata, tenang, teduh, bersih nan apik. Sangat terawat dan secara psikologis, tempat yang lumayan aku sukai; tempat yang menyenangkan untuk membaca, merenung atau sekedar duduk sederhana.

Dan disinilah ceritaku dimulai, bukan, ini bukan cerita kisah cinta layaknya Dilan dan Milea bukan pula kisah sepasang manusia yang sedang di mabuk asmara. 

Ini adalah catatan nonfiksi ketiga ku, sebuah pengantar perasaan untuk mengenal diri sendiri lebih dalam, dan sebuah renungan atas segala perasaan yang dulu pernah ada; untuk dikenang sebagai bahagia atau kenangan yang sia-sia.

— Perjumpaan yang sederhana ..

Kota ini sedang dilanda gerimis, tatkala jalan hidupku ditakdirkan untuk berubah setelah mengenalnya. Adalah sosok dingin yang pertama kali menyapaku, melalui media sosial bernama instagram, yang mampu menembus, dan membuat retak pertahananku. 

Seperti hal-nya menyukai hujan yang tak perlu kujelaskan. Aku selalu menyukai matamu, caramu berbicara, pola pikir serta sosokmu yang dapat menenggelamkanku berlama-lama untuk menikmati euphoria tersebut. 

Bagaikan datangnya hujan yang  selalu membawa pulang kehangatan dikepalaku, raga yang menahan dinginnya waktu, dan kedatanganmu seumpama hujan panas yang hadirnya tak diduga dari awal mula.

Aku melihat sosok abu-abu pada dirimu. Terlalu abu-abu, untuk bisa diharapkan menjadi pelangi indah yang punya banyak warna. Tetapi justru dari sanalah aku ingin tahu isi dari warna kelabu milikmu. Karena tidak semua yang terlihat oleh mata, akan sama dengan yang dirasakan oleh hati. Pepatah lama mengatakan, janganlah menilai buku dari sampulnya. Dan aku percaya akan hal itu, mencoba menerapkannya pada orang-orang baru.

— Perihal rasa ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan.

Waktu yang berlalu membawaku pada bulan-bulan berikutnya. Aku senang, kamu selalu menyisihkan waktu untuk mengganggu-ku dengan mengajakkuberbincang perihal hal-hal yang ada dibumi meskidari jauh dan tak tersentuh. Lucu ya? Hanya dengan berbincang denganmu meski hanya di balik layar kaca ponsel, sudah membuatku senang. Walaupun aku tak bisa memungkiri niat di dalam hati yang memaksa untuk terus mengenalmu.  

Orang-orang diluar sana, mereka menyebutnya cinta dalam diam. Walaupun sebelumnya agak geli untuk mengakuinya pada diri sendiri. Karena aku tidak pernah merasa percaya diri ketika memiliki perasaan kepada orang lain. Seperti ada hal yang mengganjal yang harus diungkapkan. Seperti ada kebohongan yang harus dikatakan. Kejujuran memang mahal harganya, tetapi untuk satu ini-aku menyerah. Dengan alasan apapun yang bahkan harusnya dicari dan disusun rapi terlebih dahulu. Semua sudah terlalu jatuh, dan sudah demikian alurnya.

Kamu adalah riuh yang aku bicarakan pada tinta dan kertas. Sedangkan kata-kata adalah saksi yang terdiam dalam sunyi. Perihal rasa mereka adalah teman setia. Tentang jarak, adalah ia yang tak pernah jemu pengendap syahdu. Kamu adalah apa-apa yang tak pernah tersampaikan. Dari segala kata dan jeda yang tak kunjung terlihat habisnya. Mengalir ke satu tempat tujuan. Lalu berkumpul pada sebuah fakta, bahwa inilah yang aku rasa.

Apa yang terjadi selanjutnya, ialah kita justru mulai intens bersosial media dengan kalimat-kalimat sederhana. Tetapi karena kamu yang mengatakannya, hal yang tadinya aku anggap biasa kini menjadi lebih istimewa walau hanya dari layar kaca sebuah ponsel. Boleh dibilang, lebih memiliki banyak makna. Ah, terlalu klise memang untuk orang-orang yang sedang jatuh cinta.

— Yang tak sempat tersampaikan ..
“Walaupun masuk ku tanpa permisi, setidaknya aku ingin pamit. Untuk selamanya.” 

Saat kalimat itu tertuliskan darimu untukku, masih ada banyak sekali rangkaian kalimat yang masih ingin aku sampaikan setelah kepergianmu di hari itu. Sebab aku tahu bagaimana rasanya terlukai, terlebih di tinggalkan secara sepihak. Tetapi sudah kuyakini dalam hati, bahwa sungguh, aku tak pernah menyesal ketika semesta telah mempertemukan kita. Yang kusesali adalah sebuah rasa yang dalam di waktu yang sesingkat itu.

Aku sempat berpikir, andai saja mengembalikan perasaan semudah membalikkan telapak tangan. Andai dulu aku dapat mengubah keadaan, akan kubuat keadaan berjalan dengan baik saat kita berencana untuk bertemu. Masih banyak pengandaian yang aku harap bisa mengembalikan kita yang dahulu. Kita yang mungkin memulainya dengan cara yang kurang baik tapi mampu berjalan dengan baik.

Namun, disinilah kita sekarang. Waktu melaju, jarak merentang. Kita masih diri kita masing-masing dan berpura-pura asing.  Mungkin semesta tak lagi mengizinkan kita untuk terus melanjutkan cerita ini bersama. Kasih yang berakhir menjadi kisah. Walaupun sejatinya, tidak ada rasa yang benar-benar punah.

Dan setelah hari itu, aku ucapkan terima kasih. Sebab telah mampu menjadi ruang ternyaman untuk berbagi, menjadi pendengar tanpa lelah di segala keluh kesahku, walau tidak sampai kini. Terima kasih karena tidak merasa risih untuk aku yang begitu rumit. Terima kasih karena sudah menerima kurang dan menyimpan banyak kenang.

Barangkali tulisan ini bisa sampai terbaca oleh-mu, terima kasih karena telah membacanya baik-baik.

—Kota Bogor dengan perasaan yang tertinggal

Perasaan ini tumbuh di sebuah kota yang sama. Kota hujan yang menjadi saksi bisu dengan dua setengah tahun setelah fase kepergianmu yang kini sudah berlalu begitu cepat.

Seandainya waktu itu aku tak dipertemukan denganmu oleh semesta yang telah mengatur segala rencana, maka kira-kira apa yang akan terjadi hari ini?

Apakah aku tetap merasa bahagia ketika bertemu dengan seseorang yang bukan kamu? Apakah perasaan itu mampu tumbuh dan bertahan sebaik ini? Atau mungkin.. apakah aku akan tetap menuliskan tentang kehadiran seseorang sama seperti aku saat ini, menuliskan kenangan kepergian tentangmu dan perasaan yang tertinggal di dalamnya? Mungkin tidak. Karena itu, aku pernah bersyukur di setiap harinya untuk kehadiranmu di bumi. Iya, sesederhana itu.

Mengikhlaskan dengan baik

Mengikhlaskan dengan baik tidak hanya berlaku pada seseorang yang tengah menyesali segala perbuatannya. Tapi juga untuk diperuntuk seseorang yang tidak merelakan sebuah hal atau sesuatu terjadi, menurutku jalan terbaiknya adalah mengikhlaskan.

Bagiku mengikhlaskan adalah suatu hal yang perlu dipelajari, kemudian di terapkan. Sebab terkadang, tuhan enggan memberi skenario mudah untuk saling menemukan-tidak bersama sekarang, belum tentu tidak juga di masa depan. Karena semesta selalu punya cara tersendiri untuk memastikan dua yang sudah ditakdirkan; akan menemukan jalannya untuk pulang. 

Lalu ketika waktu itu datang, pastikan bahwa seseorang itu dapat benar-benar apa yang kamu harapkan, tegaskan padanya juga pada dirimu untuk menata jalan baru dengan baik, sebab tak ingin lagi membuang waktu pada perasaan yang tak seharusnya.

Tentang ini, kamu pasti tahu; bahwa apa yang bertemu selalu menemui sebuah perpisahan. Apa yang paling menyenangkan, juga bisa berbalik menjadi yang paling mengecewakan.

Kamu mungkin bisa mengelak, tetapi hatimu tidak. Kamu mungkin bisa melupakan seseorang yang pernah bersamamu, tetapi kenangannya tidak.

Dan beberapa percakapan mungkin masih terngiang dengan jelas. Sebuah lagu “Biar aku yang pergi” diputar di waktu yang sama, sebuah film “KKN di Desa Penari” yang akan di tonton bersama, dan sebuah “Jawaban atas Penantian” hasil kolaborasi di waktu yang singkat. 

Dan dalam waktu tertentu, kamu mungkin masih akan tersenyum ketika kembali mengingatnya. Sebuah senyum tanda terima kasih sebab menjadikan kenangan itu sebagai pelajaran baru untuk mengenal diri lebih dalam menuju kedewasaan. Sebuah senyum ikhlas akan sebuah kepergian yang akhirnya kini kamu terima dengan lapang. Sebuah senyum yang justru membuatmu bertanya-tanya,

Bagaimana kabarnya, disana? Apa ia sudah menemukan seseorang yang dibutuhkan, seperti yang pernah ia katakan? 

Komentar

Postingan Populer